Di Balik Hiruk Pikuk Royalti Musik: Dari Damai Mie Gacoan Bali hingga Struk Restoran yang Mengguncang Dunia Maya

Jakarta – Awal bulan ini, isu royalti musik yang biasanya hanya dibicarakan di ruang-ruang diskusi hukum tiba-tiba menembus meja makan, berkat dua peristiwa yang saling berkelindan. Pertama, penyelesaian sengketa antara Mie Gacoan Bali dan Lembaga Manajemen Kolektif Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) dengan pembayaran damai Rp2,2 miliar. Kedua, viralnya foto struk restoran yang memuat biaya “Royalti Musik/Lagu” sebesar Rp29.140, yang membuat publik bertanya: siapa sebenarnya yang harus membayar musik yang terdengar di ruang publik?

Babak Pertama: Mie Gacoan dan Angka Miliaran di Meja Damai

Kasus Mie Gacoan mencuat ketika SELMI menuding jaringan kuliner populer itu memutar musik di gerainya tanpa membayar royalti sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Tuduhan ini bukan sekadar urusan bisnis, melainkan menyangkut hak pencipta lagu yang dilindungi hukum.

Proses negosiasi berjalan alot. SELMI membawa data jumlah gerai, kapasitas kursi, dan periode pemakaian musik sejak 2022. Hasil perhitungan melahirkan angka Rp2,2 miliar, jumlah yang akhirnya disepakati. Pada 8 Agustus 2025, kedua pihak menandatangani perjanjian damai di Bali, disaksikan langsung Menteri Hukum dan HAM. Kesepakatan itu memberi izin bagi Mie Gacoan untuk memutar musik hingga akhir Desember 2025.

Babak Kedua: Struk yang Menghebohkan

Hanya beberapa hari setelah kesepakatan itu, media sosial kembali riuh. Kali ini penyebabnya adalah selembar struk restoran dengan satu baris tak biasa: “Royalti Musik/Lagu – Rp29.140”. Foto struk itu menyebar cepat, memicu perdebatan di kolom komentar.

Sebagian menganggap pencantuman ini sebagai bentuk transparansi yang layak diapresiasi. Tapi lebih banyak yang menganggapnya tidak pantas, seolah pelanggan dipaksa membayar hiburan yang mereka tidak minta. Narasi pun bergeser dari sekadar hukum hak cipta menjadi soal etika bisnis dan perlindungan konsumen.

Fakta Hukum dan Posisi Konsumen

Menurut Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), mencantumkan biaya royalti secara terpisah di struk bukanlah praktik umum. Kewajiban membayar royalti berada pada pengelola usaha dan biasanya sudah termasuk dalam harga menu. Pelanggan, secara hukum, tidak memiliki kewajiban langsung membayar royalti.

Undang-Undang Hak Cipta menetapkan bahwa setiap penggunaan lagu untuk kepentingan komersial harus diikuti pembayaran royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta, melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau LMK resmi seperti SELMI. Besaran tarifnya ditentukan oleh kapasitas tempat, jumlah kursi, dan durasi pemutaran musik.

Sorotan Terhadap Lembaga Pengelola

Peristiwa ini juga menyoroti kinerja lembaga pengelola royalti. Beberapa musisi senior mengkritik kurangnya transparansi dan minimnya edukasi bagi pelaku usaha. Tanpa komunikasi yang jelas, publik akan terus salah paham dan setiap kasus bisa dengan mudah berubah menjadi kontroversi nasional.

Efek Domino di Industri Kuliner

Dampak dari dua kejadian ini mulai terasa. Beberapa restoran mempertimbangkan untuk mengurangi atau menghapus pemutaran musik, sementara yang lain mulai melengkapi perizinan agar tidak terjebak sengketa. Kesadaran hukum meningkat, namun juga muncul kekhawatiran bahwa aturan yang ada bisa memengaruhi suasana dan konsep layanan di industri kuliner.

Akhir yang Belum Selesai

Kisah Mie Gacoan dan struk restoran viral hanyalah permukaan dari persoalan yang lebih dalam: bagaimana aturan hak cipta diterapkan di ruang publik, dan bagaimana keseimbangan antara kepatuhan hukum, kelancaran bisnis, dan kenyamanan pelanggan bisa dicapai. Regulasi mungkin sudah jelas, tapi tanpa komunikasi yang baik, setiap nada yang terdengar di ruang makan bisa menjadi awal perdebatan baru.